Senin, 17 Desember 2007

ADA RACUN DALAM MAKANAN DAN MINUMAN KITA

Apakah yang dimaksud dengan bahan aditif?
Bahan aditif atau zat tambahan makanan (food additive) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik). Bahan aditif digunakan pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan. Tujuannya adalah diharapkan menghasilkan baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Definisi tersebut dimabil oleh Komisi Codex Alimentarius, suatu badan antar-pemerintah yang terdiri atas kira-kira 120 negara (FAP/WHO, 1983).
Apa saja jenis bahan aditif?
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 772/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, maka yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih/pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna alami maupun buatan, penyedap rasa, aroma, dan pengikat logam (sekustran).
Jenis zat aditif di atas merupakan zat aditif yang tambahan makanan yang secara langsung atau sengaja diberikan. Selain itu dikenal pula zat tambahan makanan tidak langsung dan bahan pencemar makanan. Beberpa zat dapat menjadi bagian dari makanan karena digunakan dalam produksi, pengolahan, atau penyimpanan makanan itu. Ini mencakup zat antibiotik dan zat anabolik yang digunakan selama pemeliharaan hewan di peternakan, residu dari perlengkapan mesin pengolah bahan pangan, dan zat yang lolos dari bahan pengemas.
Bahan pencemar terdapat dalam makanan sebagai akibat polusi lingkungan atau salah olah pada makanan. Dengan kata lain, zat-zat ini tidak mempunyai kegunaan khusus dalam produk akhir atau dalam pengolahan makanan. Contohnya adalah merkuri dalam ikan yang ditangkap di perairan tercemar, berbagai jenis pestisida pada sayur-sayuran dan buah-buahan serta beras, mikotoksin yang terdapat dalam kacang-kacangan dan biji-bijian yang di simpan secara tidak tepat. Dengan demikian zat itu berbeda dengan zat tambahan makanan langsung dan tidak langsung.
Apa bahaya dari bahan aditif langsung tersebut?
Lebih dari 600 zat tambahan makanan sengaja ditambahkan pada berbagai jenis makana kita. Toksisitas dari kebanyakan zat tambahan ini telah dievalusi sesuai dengan prosedur yang berlaku. Beberapa zat tambahan telah dibatasi dan dilarang, atau harus diberi label tentang bahaya toksikologinya. Namun, demikian di lapangan masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Penggunaan bahan aditif dapat menjadi racun pada makanan yang akhirnya akan menimbullkan berbagai masalah kesehatan serius pada manusia.
Zat tambahan yang penting ditinjau dari segi toksikologinya dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Karsinogenisitas
Pewarna buatan dapat menimbulkan kanker usus dan pankreas. Ini disebabkan kandungan arsen di dalamnya.
Siklamat dapat mengakibatkan kanker kandung kemih
Sakarin dilaporkan memiliki karsinogenisitas yang tinggi selain menyebabkan terputusnya plasenta
Nitrat dan nitrit sebagai pewarna, pengawet dan memberkan rasa pada daging merupakan karsinogen kuat karena bergabung dengan amin membentuk berbagai nitrosamin.
BHA (butil hidroksianisol) dan BHT (butil hidrokritoluen) dipergunakan sebagai antioksidan dan telah diselediki merugikan dan berbahaya, bahkan diyakini memiliki sifat karsinogen.
Reaksi hipersensitivitas
Beberapa zat tambahan makanan diketahui dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas pada orang rentan. Karena secara umum zat-zat ini hanya mempengaruhi sebagian keci populasi. Zat-zat tambahan makanan yang penyebab hipersensitivitas yang dikenal secara luas adalah tatrazin, Sulfur dioksida, dan Monosodium glutamat (MSG).
Tartrazin, zat pewarna kuning yang dipergunakan secara luas dalam berbagai makanan olahan telah diketahui dapat menginduksi reaksi alergi terutama bagi orang yang alergi terhadap aspirin.
Sulfur dioksida (SO2) dan zat kimia yang berhubungan, misalnya bisulfit dan mtabisulfit, digunakan sebagai bahan pengawet dalam makanan olahan selai salad.
Monosodium glutamat (MSG)
Mengkonsumsi MSG secara berlebihan dapat menimbulkan Chinese Restaurant Syndrome (kesemutan pada punggung, leher, rahang bawah, sesak nafas, dan kepala pusing). Percobaan pada anak tiku menunjukkan bahwa MSG dosis tinggi menyebabkan menderita gangguan syaraf, kerusakan retina mata, dan pertumbuhan kerdil.
Zat kimia yang sering disalahgunakan adalah borak. Borak sebenarnya bukan untuk bahan pengawet makanan, tetapi digunakan sebagai bahan antiseptik dalam bentuk bedak, cairan dan salep (dalam bentuk asam borak). Borak juga digunakan sebagai pembasmi semut. Penggunaan borak sebagai bahan pengawet makanan merupakan bentuk penyalahgunaan. Makanan yang sering ditambahkan borak adalah bakso dan mie dengan tujuan meningkatkan sifat kekenyalan. Konsumsi borak dapat menimbulkan kelainan susunan saraf, saluran pencernaan, ginjal, hati, dan kulit. Pada susunan saraf borak dapat menimbulkan depresi, kekacauan mental, dan mungkin retardasi mental.
Efek burung lainnya
Selain karsinogenisitas dan reaksi hipersensitivitas, penemuan efek buruk yang lain telah mendorong dibuatnya keputusan pengaturan atau penyelidikan tambahan. Contohnya adalah lesi jantung pada hewan coba yang berhubungan denga minyak nabati yang diberi brom (brominated vegetable oil = BVO) , lesi hati yang berhubungan dengan RN Jingga dan Panceau 2R yang menyebabkan dilarangnya penggunaan zat-zat itu. Efek lain misalnya kerusakan sel darah merah (RN Jingga), penyimpanan dalam jaringan (BVO), dan atrofi testis (sikloheksilamin dari siklamat).
Apakah bahaya zat tambahan tak langsung dan bahan pencemar?
a. Bahan Pengemas
Beberapa zat dapat berpindah dari wadah makanan, bahan pembungkus, dan lain-lain ke makanan yang dibungkus di dalamnya. Kebanyakan zat kimia yang dapat berpindah dari bahan pengemas jenis konvensional, misalnya kertas dan kayu dianggap aman. Namun, belakangan ini banyak kemasan terbuat dari bahan polimer. Monomer yang terkandung dalam polimer terdapat dalam jumlah tertentu, sisa reaktan, zat antara, bahan bantu pengolahan, pelarut dan zat tambahan plastik-serta hasil reaksi sampingan dan degradasi kimia dapat perpindah ke dalam makanan yang bersentuhan dengannya. Beberapa zat kimia tersebut telah terbukti bersifat toksik bahkan bersifat karsinogenik.
b. Residu Obat Hewan dalam Makanan Manusia.
Ada tiga jenis obat yang digunakan pada hewan penghasil makanan yang dapat meninggalkan residu dalam makanan manusia misalnya daging, susu dan telur. Yang merupakan masalah dalam hal ini bukan saja zat kimia induknya, perlu juga dipertimbangkan metabolit yang dihasilkan oleh proses metabolisme hewan, termasuk bioaktivasi, yang dapat memilikisifat toksik yang berbeda.
Obat terapeutik, biasanya digunakan pada hewan individual untuk penyakit khusus dan hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek. Obat-obat ini tidak merupakan masalah kesehatan yang besar tetapi kemungkinan juga memiliki efek negatif.
Antibiotik, bisanya diberikan pada makanan hewan untuk mencegah berjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh kuman dan untuk mempercepat pertumbuhan. Ada dua bahaya potensial bagi kehidupan. Satu di antaranya adalah munculnya strain mikroorganisme patogen yang resisten, dan yang lain adalah reaksi hipersensitivitas silang pada penderita yang memakai antibiotik yang sama.
Anabolik adalah pemacu tumbuh. Zat ini kemungkinan bersifat karsinogenisitas walaupun sedikit. Suatu karsinogen dapat efektif walaupun pada dosis rendah.
Residu Dan Pencemaran
Mikotosin merupakan senyawa beracun yang diproduksi oleh kapang (mold) atau jamur. Salah satu contoh mikotoksin adalah aflatoksin yang diproduksi oleh jamur asperfillus flavus, terdapat dalam kacang-kacangan dan butir padi-padian. Aflatoksin merupakan karsinogen yanf sangat kuat.
Residu Pestisida. Keracunan pestisida tidak hanya terjadi karena paparan (exposure) langsung oleh pestisida tetapi bisa terjadi pula lantaran manusia mengkonsumsi bahan-bahan makanan seperti sayur-sayuran, buah-buahan, makanan pokok, bahkan tanaman obat. Residu tidak hanya berasal dari aplikasi langsung, dapat pula terkontaminasi melalui hembusan angin, debu, terbawa air hujan, ataupun tanah yang banyak mengandung pestisida. Dewasa ini sebagian besar tanaman buah-buahan, sayuran, makanan pokok, tanaman obat dan lainnya telah tercemar racun pestisida. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemakaian segala jenis pestisida yang hampir 100% oleh petani. Pestisida telah terbukti menimbulkan berbagai permasalahan terhadap kesehatan, merusak jaringan dan organ, sistem syaraf, teratogennisitas, efek pada fungsi reproduksi, kerusakan ginjal dan tentunya merupakan karsinogen yang kuat. Sayangnya, ternyata residu pestisida yang ada pada bahan makanan tidak bisa dihilangkan dengan perlakuan seperti pencucian dan pemasakan tetapi hanya bisa dikurangi.
Logam. Logam yang paling perlu diperhatikan antara lain adalah merkuri, timbal dan kadmium. Bahaya merkuri akut maupun kronis diakibatkan oleh penggunaan yang tidak tepat atau termakannya tersebut yang digunakan sebagai fungisida dalam pengawetan padi-padian. Efek lain terjadi karena mengkomsi hasil laut seperti ikan dan kerang yang tercemar oleh limbah. Bahaya timbal dirasakan akibat manusia terpajan pada logam ini lewat udara, air dan makanan. Makanan yang dijual dipinggir jalan dapat pula tercemar timbal. Kadmium memasuki rantai makanan melalui pencemaran tanah dan air. Penyakit itai-itai di Jepang diduga karena pajanan kronis terhadap kadmiun melalui konsumsi beras yang tercemar dalam jangka panjang. Jelasnya ketiga jenis logam ini mempunyai dampak buruk bagi kesehatan manusia baik kronis maupun akut serta merupakan agen karsinogen.
SUMBER BACAAN:
Budiyanto, MAK. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Cetakan III. UMM Press. Malang
Buletin Organis. 2006. POPs Bahan Kimia Berbahaya dalam Kehidupan Kita Sehari-hari. Edisi No. 12/Th 3/Agustus-Oktober 2006.
Ekha, Isvata. 1991. Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau. Cetakan II. Kanisius. Yogyakarta.
FAO/WHO. 1983. Food additives. Codes Elemntarius, Vol. XIV. Rome: Food Agriculture Organization of the United Nations.
Kuyek, Devlin M. 1999. Yang Diuntungkan dari Bisnis Racun: Industri Pestisida. Yayasan Duta Awam dan Pesticide Action Network Asia and the Pacific. Solo.
Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. UI-Press. Jakarta.
Nurhayati, Sri. 2005. Stop Pestisida! Stop Pemberian Racun!. (Online). (http://www.beritabumi.or.id/index.php). Diakses 20 Desember 2006.
Quijano, Romeo dan Rengam, Sarojeni V. 1999. Awas! Pestisida Bebahaya Bagi Kesehatan. Yayasan Duta Awam dan Pesticide Action Network Asia and the Pacific. Solo.
Setiadi, Rudi dan Kuraesin, Eulis. 2006. Residu Pestisida: Racun Tersembunyi pada Makanan. Pikiran rakyat Edisi Kamis, 20 April 2006
Suara Merdeka. 2005. MSG, Membuat Tidak Pernah Kenyang. Edisi Senin, 22 Agustus 2005
Sudarmo, Subiyakto. 1988. Pestisida Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
Tjahjadi, Riza V dan Gayatri (ed). 1994. Ingatlah Bahaya Pestisida. Pesticide Action Network-Indonesia. Jakarta.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan IX. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tidak ada komentar: